Sabtu, 06 Juni 2015

PASAL EMPAT BELAS

Pagi ini aku terdiam di ruang tamu sambil bersantai memaikan handphone dan membuka situs sosial media 'facebook' entah pagi ini mendorong aku untuk mengingat masa lalu ku di sekolah, akhirnya aku melihat-lihat latepost saja, dan aku menemukan sebuah catatan inspiratif yang mempunyai maksud mendalam yang menandai aku di dalamnya. catatan kakak kelas ku di SMK, namanya Kak Kenti Lestari, dia juga termasuk salah satu kakak dalam organisasiku (DKM) dan kita cukup dekat. catatannya sebagai berikut :

PASAL EMPAT BELAS
(Cipt. Kenti Lestari)

“Cintaku terhalang di pasal empat belas!”
“Gara-gara pasal empat belas!!!”
Aku agak geli mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Hey, apa yang salah dengan itu? Pasal empat belas? Apa sih? Aku pun berlalu dengan membaca tulisan berjudul AD-ART oraganisasi rohis di sekolah ku.
Tersebut disana di dalam bab X pada pasal 14 ayat (1) bahwa inti nya pengurus DKM dilarang berkhalwat (berdua-duaan) alias interaksi dengan judul ‘PACARAN’ baik itu di dalam masa jabatan atau bukan lagi masa jabatan, baik itu dengan sesama aktivis atau non aktivis. Aku tersenyum membaca ini, kenapa? Ada yang aneh? Jadi ini alasan bagi orang-orang sekitar memandang aneh kami dan enggan untuk bergabung dengan kami?
Seringkali pula ku dengar ada yang mengatakan, “Ken, di DKM ga boleh pacaran ya?” atau, “Yaah... di DKM ngga boleh pacaran siih.. jadi gue males deh gabung!” oh hellooow... what’s wrong? dan kami selaku pengurus hanya bisa menjawab, “Temen-temen, pacaran itu ngga di larang sama DKM koo.. tapii.. pacaran itu emang udah dilarang dari sononya, dari Islam, dari Allah langsung.. kan ada di Al Qur’an Surat Al Isra (17) ayat 32 yang isinya, ‘Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ ”. Lagian apa yang salah sih sama peraturan itu? Sama ayat itu? Emang dengan pacaran, bisa menjadikan kita lebih baik gitu? Terutama di mata Nya? Hey, segala yang Allah larang itu justru mendatangkan manfaat lho. Ayat itu tuh ya turun karena Allah memerintahkan kita selaku umat muslim agar senatiasa menjaga kehormatan nya. Emang mau dibilang ngga punya kehormatan?! Saya sih ngga!
Ayat itu juga menjadikan kita berbeda dengan binatang. Allah kan bilang agar kita jangan mendekati zina, yang dimaksud zina itu yaa bukan hanya berhubungan layaknya suami-istri (itu malah muara dari pedekate terhadap zina) tapii zina itu ada macem-macem, ada:
a) Zina mata, yang terus ngeliatin lawan jenis tanpa gadhul bashar (menjaga pandangan), pan Rasulullah SAW juga bilang, kaloo "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah resiko bagimu." (HR Ahmad)
b) Zina hati, yang isi hatinya tuh ya alwaaaaayyyysss si dia. Apa apa dia, jadi inget lagunya Duo Maya, “Aku mau makan, ku ingat dia, aku mau mandi juga ingat dia, eh pas mau tidur jadi kelaperan karena lupa makan” *ngga gitu ya lagunya? Maaf bukan pecinta musik yang baik hehe. Jadi kekhawatiran disini itu, takutnya nanti apa yang ada di hati jadi teraplikasikan ke amal sehari-hari kita. Pas udah jam 09.35 Waktu SMK, “wah waktunya istirahat nih, sholat dhuha dulu aah.. kali aja ketemu sama si dia, pan dia rajin sholat dhuha” atau “baca Al Qur’an nya yang keras aaahh terus di deket hijab musholla, biar kedengeran gituu sama si dia” bisa juga gini “Duh, lemes juga lagi puasa yeuh, moga-moga dia nyadar dan mau merhatiin aku”
Ckckck ayo kita ucap, Astagfirullaahal adziim...
c) Zina fisik, nah ini nih yang paling parah. Sampe ke fisik bro, sist! Gimana ngga, buat mereka yang merasa dunia dan seisinya milik berdua dengan pasangan nya (yang insya Allah haram kalo itu pacaran) bisa mengartikan diri si pasangan nya pun miliknya seutuhnya, sampe sampe hayo aja mau pegang-pegangan tangan (kaya tukang pijit) mauu.. apa lagi deh gatau, di sensor aja. Pokok nya ya gitu deh parah beeud pokoke, sampe-sampe muara nya ya itu tadi berlanjut ke hubungan yang tidak seharusnya, hubungan yang apabila di jalankan oleh suami-isteri akan mendatangkan pahala, namun sebaliknya, dosa yang didapatkan bagi mereka yang belum menikah. Na’udzubillah summa na’udzubillahi min dzalik.
Padahal, kalo ngga salah ada hadist apa pepatah deh yang mengatakan, “lebih baik ditusuk besi yang amat panas dibandingkan harus memegang wanita yang bukan mahram!” *keren banget ada ikhwan yang kayak gitu :)
Selain tiga tersebut diatas, bentuk zina mungkin ada yang lainnya juga wallahu’alam, tapi yang umum dan parah terjadi ya tiga tersebut diatas. Back to pasal empat belas *jeng jeeng..
Saya pribadi sih agak miris ya dengan kalimat-kalimat di atas tadi. Saya ngga bermaksud menggurui dengan adanya tulisan ini, lagipula emang udah banyak tulisan kaya gini berseliweran disana-sini, namun saya merasa tulisan seperti ini harus terus tersebar luaskan. Kan bisa jadi, ada yang udah pernah *bahkan sering membaca tulisan kayak gini, tapi what ever-lah ngga pedulian khawatirnya malah jadi salah satu ciri dari orang sombong yang mengingkari kebenaran, tau sendiri bila ada kesombongan di hati manusia meski sebesar biji dzarrah Ia tidak akan masuk Syurga, na’udzubillah. Saya juga takut, saat nanti dimintai pertanggungjawaban atas diri saya, mungkin akan ada saksi yang mengatakan saya tidak mau bertanggung jawab minimal mengingatkan orang-orang disekitar atas fenomena yang terjadi saat ini. Saat dimana -sulit untuk saya mengatakan ini- tingkat aborsi di dunia, di Indonesia, dan bahkan di kota saya tercinta, Bogor telah menjadi salah satu kota dengan peringkat aborsi yang cukup tinggi. Saat dimana, di tengah asyiknya kita belajar, menuntut ilmu, atau sedang membaca tulisan ini, telah banyak bayi yang di gugurkan, atau di lahirkan dan dibuang, atau sedang ada teman-teman kita yang berbuat tak semestinya.
Miris memang mendengar ini semua, saya hanya khawatir, dunia kini dengan teknologi nya yang super canggih namun meluluh lantakkan peradaban yang sedari dulu dibangun, bahkan menjadikan peradaban kini kembali ke jaman dulu sekali, jaman primitif, jaman dimana peraturan masih belum berlaku, jaman dimana pola pikir masih sangat sederhana dimana dengan pakaian seadanya, hidup bersama dengan binatang dan bisa jadi tingkah laku (maaf) layaknya binatang. Apa kita mau disamakan dengan orang-orang di jaman seperti itu?
Sekali lagi, apa kita mau disama ratakan seperti orang-orang di jaman primitif? Seharusnya kita mampu berpikir lebih cerdas bukaan..?!
Akhir kata, saya berharap semoga tulisan ini bisa menjadi pukulan ke seratus setelah Anda mendapatkan 99 kali pukulan atas tulisan seperti ini juga bagi yang sering membacanya. Semoga tak ada pikuran negatif berseliweran atas saya dan tulisan saya, tapi kalo mau comment ya monggo sudah di sediakan box comment nya dibawah ini. Saya juga berharap dengan adanya pasal 14 di bab AD-ART organisasi rohis saya tidak menjadikan sebagian orang berpikiran asing atau sebagian lagi berpikiran biasa saja dan dianggap formalitas. Semoga kita semua saling tersadarkan dan menyikapi semua ini dengan baik.
Buat yang ngga pacaran, Alhamdulillah moga ga usah aja.. *kecuali udah halal :)
Buat yang pernah pacaran, yaudah kedepan nya jangan lagi dan tobat-setobatnya..
Dan buat yang saat ini masih pacaran, ekheum agak geli sih kalo ngeliatnya, tapi semoga mau lagi bercermin ke hati Anda sekalian, apa manfaat nya dan apa mudharat nya. Sekiranya manfaatnya lebih banyak dari mudharatnya, sok
comment weh di dieu.. dan inget lagi ayat yang satu ini “...sesungguhnya wanita yang baik-baik hanya untuk lelaki yang baik-baik, dan wanita pezina (yang buruk) hanya untuk lelaki pezina pula...” lupa lagi ada di surat apa, kalo ngga salah di QS. Al Baqoroh, dan kalo ngga salah sih intinya lebih kurang ya begitu..
Sekian dari saya, lebih kurang nya mohon maaf, apabila ada kesalahan datangnya dari diri saya, dan yang benar datangnya dari Allah, sekali lagi tidak bermaksud menggurui, hanya berbagi semata. Terima kasih, mari kita tutup dengan bacaan hamdalah dan istighfar, dilanjutkan dengan do’a kafaratul majelis...
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh... *layaknya epilog pengajian umum (rohis) di kelas-kelas :D
Kenti Lestari^^



Rabu, 03 Juni 2015

Kisah Cinta Fahri di dalam Ayat-Ayat Cinta

Novel ini banyak menggambarkan bagaimana hubungan lelaki dan perempuan menurut Islam. Misalnya saja adegan ketika Fahri menolak berjabat tangan dengan Alicia:
Perempuan bule (perempuan barat) tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata, “Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.” “Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya. “Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.
Fahri dengan penuh hikmah menyatakan alasannya kenapa menolak bersalaman dengan perempuan.
Atau contoh lainnya ketika Fahri dan Aisha turun dari kereta api. Walaupun mereka berjalan di keramaian, Aisha berjalan dua meter dibelakang Fahri supaya tidak menimbulkan fitnah. Adegannya lainnya adalah ketika Fahri menolak tawaran Madame Nahed agar duduk di belakang kereta bersama Maria, anak perempuan keluarga Tuan Boutros yang memakai parfum terlalu keras. Dengan sopan Fahri minta untuk duduk di depan kereta, di samping Tuan Boutros. Fahri merasa kalau duduk dengan Maria di belakang, akan menyebabkan godaan yang sangat besar baginya. Fahri juga menolak berdansa dengan Maria ketika berada di restoran. Tentu saja Fahri tidak pergi berdua dengan Maria. Fahri pergi bersama kawan-kawannya dan juga keluarga Tuan Boutros. Dan banyak contoh-contoh lain dalam novel ini yang menggambarkan bagaimana sebenarnya seorang lelaki itu berhubungan dengan perempuan menurut Islam.
Fahri memiliki target untuk menikah pada umur 26 atau 27 tahun. Tapi Fahri merasa ragu-ragu karena pendapatan dari menterjemah buku selama hidup di Mesir tidak terlalu besar. Akhirnya Fahri membuat keputusan, jika telah menemukan perempuan shalihah dan menerimanya baik suka maupun duka, maka Fahri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, walaupun umurnya belum mencapai 26 tahun.
Fahri tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan tawaran menikah. Syaikh Utsman yang merupakan guru tempat Fahri ber-talaqi menawarkan seorang gadis shalihah yang merupakan keponakan dari salah seorang rakan Syaikh Utsman. Hati Fahri masih terasa bergetar karena tawaran yang tidak disangka-sangkanya itu. Fahri sholat istikharah selama tiga hari berturut-turut agar dapat membuat keputusan yang tepat. Fahri juga tidak lupa meminta restu ibunya. Jika ibunya setuju maka Fahri akan menerima tawaran itu.
Kalau ditanyakan kepada saya, apa bagian dari buku ini yang meninggalkan kesan yang mendalam? Maka jawabannya adalah proses ta’aruf Fahri yang diatur oleh Syaikh Utsman. Proses ta’aruf ini begitu Islami dan sudah sewajarnya dicontoh oleh pemuda-pemudi Islam yang berniat melangsungkan pernikahan.
Sebelum proses ta’aruf berlangsung, Syaikh Utsman memberikan dua album photo (gambar) yang berisikan gambar-gambar si gadis tersebut. Namun Fahri tidak berani membuka album gambar tersebut. Fahri memutuskan untuk melihat calonnya langsung selama proses ta’aruf. Ketika menunggu kedatangan perempuan tersebut dan keluarganya di rumah Syaikh Utsman, Syaikh Utsman berkata:
Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di ruang tamu dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas dingin yang luar biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam hubungan lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan romantisnya.”
Akhirnya setelah betemu dengan perempuan tersebut, Fahri baru mengetahui perempuan itu adalah Aisha yang merupakan kenalannya. Namun Fahri tidak pernah mengetahui wajah Aisha karena selalu tertup cadar. Istri Syaikh Utsman kemudian berkata:
“Ini adalah majelis ta’aruf untuk dua orang yang sedang berniat untuk melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya. Meskipun Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus melihat yang asli sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir.
Walaupun Fahri tidak pernah menceritakan hal-hal pribadi kepada Aisha sebelumnya, Aisha banyak tahu mengenai Fahri. Aisha banyak bertanya perihal Fahri melalui pamannya (pakcik) yang merupakan sahabat Fahri dulunya. Pakcik Aisha sangat mengenal Fahri, sehingga beliau setuju dengan ta’aruf ini. Ada dua pelajaran yang boleh diambil dari proses ta’aruf Fahri dengan Aisha ini yaitu:
1. Bukan merupakan suatu kesalahan apabila perempuan maju terlebih dahulu apabila menyukai seorang lelaki. Namun gunakanlah orang ketiga, contohnya seperti pakcik Aisha dan Syaikh Utsman, untuk memulai proses ta’aruf guna menghindari fitnah.
2. Proses pernikahan Islami bukan berarti seperti membeli kucing di dalam karung. Sudah sepatutnya pihak lelaki dan perempuan mencari tahu (merisik) calonnya tersebut. Proses perisikan ini boleh melibatkan orang ketiga, dalam hal ini Aisha merisik melalui pakciknya yang telah mengenal Fahri dengan baik. Tentu saja proses perisikan melalui pihak ketiga ini tidak menjamin Aisha mengetahui Fahri secara mendalam. Tapi jauh lebih baik daripada percintaan sebelum menikah. Proses kemudahan perisikan inilah yang sebenarnya membuat orang-tua lebih suka kalau anaknya memilih calon dari keluarga yang dikenali oleh mereka.
3. Diizinkan untuk melihat muka perempuan ketika ber ta’aruf supaya meninggalkan ghairah bagi pihak lelaki untuk menikahi perempuan tersebut. Saya pernah mendengar sebuah nasyid Malaysia yang menceritakan proses pernikahan seorang lelaki tanpa melihat wajah istrinya hingga selesainya ijab-qabul. Saya merasa ini tidak mengikuti sunnah.
Sebenarnya Fahri menyukai seorang gadis yang bernama Nurul. Namun Fahri tidak berani menyatakannya kesukaannya secara langsung kepada Nurul karena menganggap Nurul adalah anak seoarang kiai pemimpin sebuah pondok pesantren di Jawa. Sudah menjadi kebiasaan disana, bahwa anak seorang kiai memiliki derajat yang tinggi (golongan ningrat menurut orang Jawa). Biasanya orang-tuanya sudah memiliki calon bagi anak perempuannya. Itulah alasan Fahri sehingga dia tidak berani maju terlebih dahulu.
Inilah salah satu kesilapan Fahri. Seharusnya kalau sudah suka, maka nyatakanlah dan ajaklah untuk menikah. Tapi itu tidak dilakukan oleh Fahri. Tanpa disadari oleh Fahri, sebenarnya Nurul juga menyukai Fahri. Cuma Nurul terlalu malu untuk menyatakan perasaan hatinya secara langsung kepada Fahri. Nurul meminta bantuan pamannya (pakcik), Ustadz Jalal, untuk menyampaikan perasaan sukanya kepada Fahri.
Fahri merasa terpukul dengan pemberitahuan Ustadz Jalal yang sangat terlambat tersebut. Fahri sudah terlanjur menerima lamaran Aisha. Walaupun Fahri mencintai Aisha sejak bertemu muka dengan Aisha, hanya nama Nurul sajalah yang mampu menggetarkan hatinya. Fahri merasakan cobaan yang sangat besar. Kalau diikutkan kata hatinya, mau saja Fahri membatalkan kesepakatan dengan Aisha dengan alasan nikah dan mahar yang belum terjadi. Namun Fahri tidak mau menyakiti hati Syaikh Utsman, istrinya dan keluarga dekat Aisha. Akhirnya Fahri memutuskan mengikuti akal sehatnya dibandingkan perasaannya.
Fahri tidak pernah bercinta dengan Aisha sebelum menikah. Fahri hanya beberapa kali bertemu Aisha untuk mendiskusikan masalah-masalah agama. Tentu saja ada pihak lain yang menemani Aisha berjumpa Fahri. Maka setelah menikah, mereka bercinta dengan sepuas-puasnya. Karena cinta setelah menikahlah yang diakui oleh Islam.
Walaupun sudah melaksanakan pernikahan dengan Aisha, Fahri mengalami cobaan lain. Fahri menerima sebuah surat dari Nurul yang mengatakan sanggup bermadu dengan Aisha. Akan tetapi Fahri menolaknya dengan alasan telah menerima syarat untuk tidak berpoligami ketika ijab qabul dengan Aisha dulunya. Mungkin ada yang tidak setuju dengan alasan Fahri, karena ada juga ulama yang menganggap itu bukan syarat nikah. Sebenarnya permintaan Nurul ini wajar-wajar saja, tapi Fahri menganggap Nurul telah dibutakan oleh rasa cintanya sehingga tertutup akal pikirannya. Fahri menganggap cinta Nurul bukan cinta sejati, karena terjadi sebelum aqad nikah. Cintanya Nurul adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan. Maka Fahri pun menolak tawaran Nurul tersebut.
Ternyata selain Nurul, Maria juga diam-diam menyukai Fahri. Maria adalah seorang gadis Kristen Koptik dari Mesir. Maria sering juga menunjukkan kesukaannya secara halus. Seperti halnya Nurul, Maria terlalu malu untuk menyatakan perasaannya di depan Fahri. Fahri sendiri tidak tahu dengan perasaan hati Maria, karena memang dia tidak begitu berminat dengan Maria. Bisa dibayangkan betapa hancurnya hati Maria ketika mengetahui bahwa Fahri hendak menikah dengan Aisha.
Walaupun begitu, di akhir novel Fahri akhirnya menikahi Maria sebagai istri kedua dengan alasan-alasan tertentu (silakan dibaca novelnya sendiri untuk mengetahui alasan-alasan tersebut). Pada awalnya Fahri menolak karena sudah berjanji tidak berpoligami selama masih hidup dengan Aisha. Tapi Aisha mendesak Fahri untuk menikahi Maria. Tidak dapat disangkal lagi, Aisha tetap cemburu dengan kemesraan Fahri dengan Maria. Tetapi karena keimanannya yang tinggi, Aisha tidak membiarkan perasaan cemburu itu membakar dirinya. Aisha menganggap cemburunya adalah wajar karena cintanya yang kuat kepada Fahri.
Memang membaca novel Ayat-Ayat Cinta ini seperti membaca sebuah buku agama karena banyak pelajaran di dalamnya seperti aqidah, fiqh, hubungan lelaki dan perempuan, hubungan dengan non-Muslim, dan sebagainya. Kelebihan pengarang buku ini adalah, beliau mampu membuat sebuah jalinan cerita yang tidak menggurui. Tidak heran novel ini mencapai “mega best seller” di Indonesia dengan penjualan lebih dari 400.000 kopi. Mungkin ada yang pernah mengganggap tokoh Fahri dan Aisha terlalu ideal. Tapi pengarangnya sendiri beranggapan tokoh Fahri masih belum ideal. Orang-orang yang menganggap tokoh ini terlalu ideal dikarenakan novel-novel atau filem-filem yang ada selalu menggambarkan kekacauan rumah tangga, seks bebas, hubungan lelaki perempuan yang tiada batasnya (pacaran atau dating), dan sebagainya. Ini membuat orang-orang menjadi terbiasa hal-hal buruk tersebut.

(Dikutip dari : wiemasen.com/ayat-ayat-cinta/comment-page-1/)